AJARAN KONFUSIANISME (Tinjauan Sejarah dan Filsafat)
TINJAUAN SEJARAH AJARAN
KONFUSIANISME
Konfusius
adalah nama Latin dari K’ung Tzu atau Kong Hu Tzu atau biasa dibunyikan di
Indonesia dengan agama Kong Hu Cu. Dia dilahirkan di negeri Lu, yang saat ini
merupakan provinsi Shantung, pada tahun 551 SM dari sebuah keluarga yang
sederhana, jujur, dan setia berbakti kepada Thian.[1]
Kurang lebih setelah tiga tahun dari kematian Ibunya pada tahun 528 SM, dia
mengasingkan diri untuk belajar dan melakukan meditasi secara otodidak. Pada
usia 50 tahun, dia memasuki kehidupan masyarakat umum sebagai seorang Guru,
kemudian ditunjuk menjadi Kepala Hakim di kota Chung-Tu, dan segera pula
diangkat menjadi Menteri Pekerjaan dan Pengadilan. Keadilan yang diterapkan
oleh Konfusius secara tegas sehingga membuat negara menjadi tenteram
menyebabkan musuh-musuhnya semakin gencar untuh menjatuhkan dia dari
jabatannya, pada tahun 497 SM Konfusius terpaksa meninggalkan negerinya dan
pergi mengembara. Selama 14 tahun dia pergi dari satu tempat ke tempat lainnya
bersama para murid-muridnya yang setia. Hingga akhirnya dia diidzinkan kembali
ke negaranya pada usia 68 tahun. Dia menghabiskan sisa umurnya untuk
mengajarkan pahamnya dan meneliti warisan-warisan lama. Sebelum dia meninggal,
dia menghasilkan sebuah karya yang disebut Ch’un-ts’in,
Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur, dan akhirnya Konfusius menghembuskan nafas
terakhirnya pada tahun 470 SM.
Gambaran mengenai kehidupan dan kepribadian
seorang Konfusius terdapat dalam laporan-laporan para muridnya yang dihimpun
dalam Lun Yu (Analekta Kehidupan
Konfusius), yang antara lain menyebutkan bahwa Konfusius adalah orang yang
mudah bergaul dan selalu tampak gembira, halus dan teliti, hormat, menghargai
orang lain dan lain sebagainya.[2]
Dalam
ajarannya Konfusius tidak pernah berbicara tentang hal-hal yang metafisis dan
abstrak, keajaiban, kekuatan, atau masalah ketuhanan. Tetapi tidak ada
keraguan-keraguan bahwa Konfusius percaya kepada Tuhan dan bahwa dia adalah seorang monoteis yang etis.
Dia sendiri percaya bahwa kehendak Tuhan telah dibukakan untuknya dan karena
itu misinya adalah membuat kehendak tersebut berlaku di duinia ini.
Konfusius
juga percaya bahwa dunia ini dibangun atas dasar-dasar moral. Jika masyarakat
secara moral rusak, maka tatanan alam tersebut juga akan terganggu sehingga
terjadilah perang, banjir, gempa dan sebagainya. Dia juga percaya bahwa
seseorang itu asalnya adalah baik dan akan kembali ke sifat yang baik.
Menurutnya orang juga tidak memerlukan juru selamat, tetapi yang dibutuhkan
oleh umat manusia adalah guru yang berbudi, dan melakukan dengan
sungguh-sungguh ajarannya, serta menjadi contoh teladan bagi orang-orang lain,
seperti yang telah diceritakan dalam Analekta 2:13 bahwa ‘Petama-tama dia memperaktekkan apa yang dia ajarkan, dan kemudian
mengajarkan apa yang dia peraktekkan’. Konfusius sendiri menyatakan bahawa
dirinya adalah seorang guru seperti tersebut yang diangkat oleh Tuhan.
Ajarannya
mengenai hal kesusialaan, Konfusius menekankan perasaan berkawan atau
timbal-balik, penanaman rasa simpati dan kerja
sama, yang harus dimulai dari lingkungan keluarga dan selanjutnya meluas
setingkat demi setingkat meluas kedalam bidang persekutuan yang lebih luas. Dia
menekankan pentingnya lima hubungan manusia yang pokok yang sudah menjadi
tradisi masyarakat Cina pada waktu itu, yaitu :
1.
Hubungan antara penguasa dan warga
negara
2.
Hubungan ayah dan anak lelaki
3.
Hubungan kakak laki-laki dan adik
laki-laki
4.
Hubungan suami dan istri
5.
Hubungan teman dengan teman
Konfusius
melihat timbulnya kekacauan di Cina karena pangeran tidak bertindak sebagai
pangeran, warga negara tidak bertindak sebagai warga negara, ayah tidak
bertindak sebagai ayah, dan seterusnya. Menurutnya langkah pertama ke arah
transformasi dari dunia yang tidak teratur adalah melakukan upaya agar setiap
orang sadar akan tempatnya masing-masing, ‘Mungkin perkataan atau perasaan
timbal balik dapat berlaku. Jangan berbuat terhadap orang lain, jika kamu tidak
ingin orang berbuat terhadap kamu’(Analekta 15:24).
Selain
itu, Konfusius menyatakan bahwa kabijakan yang harus ditanamkan diatas semuanya
adalah sifat Jen yaitu sifat
membersihkan hati manusia. Aspek tersebut bertujuan untuk mempertahankan
cita-cita Konfusius yang menyangkut penanaman hubungan manusia, perkembangan
kemampuan manusia, menghaluskan kepribadian sendiri, dan menjunjung tinggi
hak-hak manusia. ‘Tujuan Konfusius sendiri dalam menanamkan sifat Jen dalam diri manusia adalah agar mampu
mempraktekkan lima kebijaksanaan di dunia menurut pandangan Jen, lima kebijaksanaan tersebut adalah
menghormat, keluhuran budi, ketulusan hati, ketekunan dan keramahtamahan’
(Analekta 17:16). Dia juga mengatakan bahwa Jen
tercapai karena juga mencintai orang
lain.
Dalam
ajaran Konfusius juga terapat tentang kenegaraan, yaitu memajukan kesejahteraan
rakyat sesuai denngan aturan-aturan Tuhan. Salah satu pandangannya adalah
‘Bimbinglah rakyat dengan aturan-aturan pemerintah dan periksalah dan aturlah
mereka dengan ancaman hukuman, dan rakyat akan berusaha untuk tinggal di luar
penjara, tetapi tidak mempunyai perasaan, hormat atau malu. Bimbinglah rakyat
dengan kebijaksanaan atau periksalah atau aturlah mereka dengan aturan-aturan
tentang kesopanan, dan rakyat akan mempunyai perasaan hormat dan menghormati’.
(Analekta 2:3).[3]
BAB
II
TINJAUAN FILSAFAT AJARAN
KONFUSIANISME
Aliran-aliran
filsafat Konfusianisme muncul sejak zaman kuno (600-200 SM), tepatnya bermula
setelah Konfusius meninggal dunia, para murid-murid Konfusius kemudian menempuh
jalan sendiri-sendiri dalam menyebar luaskan ajaran Konfusius. Namun karena
mereka memberikan tekanan yang berbeda-beda pada ajaran guru mereka, maka
lambat laun muncul perbedaan-perbedaan yang semakin lama semakin membesar
karena masing-masing mengembangkan menggunakan sistem pemikiran sendiri sesuai
kepentingan dan keyakinannya, akibat dari hal tersebut muncullah berbagai macam
aliran konfusianisme, diantaranya :
A.
Konfusinisme
Yaitu
suatu aliran yang terdiri dari orang-orang terpelajar yang mempunyai keahlian
di bidang kitab-kitab klasik. Kitab –kitab klasik yang terpenting ada lima Wu Ching Chiang meliputi, jitab sejarah (Shu Ching), kitab syair (Shih Ching), kitab perubahan (Ching), kitab adat (Li Chi), sejarah musim semi dan musim gugur (Ch’un-ts’in). Selain itu pada zaman ini terdapat aliran yang
ajarannya berlawanan arah, yaitu :
1.
Ajaran-ajaran Mencius
Mencius atau Men Ko, adalah bentuk Latin dari nama Cina Meng Tsu, Tuan Meng. Dia memberikan sumabangan yang sangat berarti
terhadap ajaran Konfusius, yaitu terletak dalam penekanannya pada pembawaan
baik dalam sifat manusia. Menurut pendapatnya, orang memiliki pembawaan yang
baik sejak diahirkan, yaitu :
a.
Jen,
artinya perikemanusiaan, murah hati, kecintaan. Dalam hubungan antarmanusia, Jen diwujudkan dalam Chung dan Shu.
b.
Yi,
yaitu berbudi, keadilan atau kebenaran. Yi berarti keadaan “yang seharusnya”
terjadi, kurang lebih sama dengan imperatif kategoris. Setiap orang
memperlakukan sesama dengan kesusilaan dan bukan karena pertimbangan lain.
c.
Li,
yaitu tindakan yang pantas, sopan santun, sesuai dengan keadaan. Tindakan lahir
harus dilakukan dalam harmoni dan keseimbangan. Seorang yang luhur, mengetahui
bahasa yang patut dipakai dan tingkah lakunya sesuai dengan maknanya. Konfusius
berusaha menyelaraskan kelakuan lahir dengan keluhuran batin.
d.
Zhi, yaitu
kebijaksanaan. Pengetahuan diperoleh dengan mempelajari fakta-fakta dan
peristiwa fenomenal, tetapi kebijaksanaan itu berkembang dari pengalaman batin.
Yang paling bermutu dalam hidup adalah kebijaksanaan.
e.
Xin,
yang berarti “percaya terhadap orang lain”. Dalam pergaulan sehari-hari,
Konfusius terlebih dahulu mendengarkan apa yang dilakukan orang dan mempercayai
perbuatannya, barulah sesudah itu ia mendengarkan sendiri perkataan orang itu
dan mengamati kelakuannya. Manusia bersandar pada kata-katanya, berarti bahwa
jika manusia konsisten dengan kata-katanya maka dia layak dipercaya.[4]
Problem yang mendapatkan perhatian
khusus dari Mencius adalah tentang pemerintah yang baik. Sebagai mana yang
diajarkan Konfusius bahwa pemerintah yang baik tidak bergantung pada kekuatan
yang tanpa perikemanusiaan, tetapi pada contoh yang baik yang dilakukan oleh
sang penguasa. ‘semua orang mempunyai hati yang tidak tahan bila melihat
penderitaan orang lain. Raja-raja kuno mempunyai hati yang haru ini, dan
karenanya mereka juga mempunyai pemerintahan yang bersifat haru. Selanjutnya
penguasa dunia itu sudah seperti memutar-mutarkan barang ditelapak tangan
saja’. Dari konsep tentang ‘pemerintahan yang baik ini’ muncul pengakuan
Mencius tentang pentingnya peranan rakyat dalam pemerintahan. Rakyat bukan saja akar dan dasar bagi
pemerintahan tetapi juga merupakan pengadilan terakhir bagi pemerintah yang
tujuan utamanya adalah untuk mendidik, memperkaya rakyat, dan memperbaiki
kesejahteraan mereka secara menyeluruh.
2.
Ajaran-ajaran Hsun Tzu
Hsun Tzu adalah seorang yang tidak
percaya terhadap Tien (Tuhan) sebagai pribadi Tuhan. Menurutnya
Tien hanyalah tidak lebih dari pada hukum alam yang tidak berubah-ubah, dan
semua perubahan alam semesta, seperti gerakan bintang-bintang dan yang lainnya
merupakan pekerjaan dari hukum yang besar. Hsun Tzu juga berpendapat bahwa yang
bertangguang jawab atas kehidupan diri manusia adalah manusia itu sendiri,
termasuk juga kemakmuran atau bencana alam yang menimpanya. Seperti yang dia
katakan “Apabila sandang dan pangan disimpan dengan cukup dan digunakan secara
ekonomis, Tuhan
tidak akan dapat memiskinkan negara”. Dia juga menolak akan takhayul, seperti
ramalan mengenai nasibdan ilmu firasat.
Ide lainnya dari Hsun Tzu adalah bahwa
sifat dasar manusia itu jahat, dan bahwa kebaikan orang itu diperoleh dari
lingkungannya. Dalam hubungan ini dia membuat serangan langsung terhadap
ajran-ajaran Mencius.
B.
Taoisme:
Tao te Chia
Yaitu
suatu aliran yang terdiri dari orang-orang terpelajar dan mengalami kekecewaan
karena keadaan negara pada waktu itu mengalami kemunduran, kemudian mereka
menyadari dan hidup sebagai biarawan. Tokoh yang terbesar dalam aliran ini
adalah Chuang Tzu.
Pokok-pokok
ajaran dari Tao te Chia terutama
mengenai metafisika dan filsafat sosial. Bukuyang dipakai sebagai pegangan
adalah Tao te Ching. Tao artinya jalan, te artinya kebajikan dan Ching
artinya kitab, Jadi Tao te Ching
diartikan sebagai kitab tentang atau petunjuk bagi manusia untuk sampai pada
kebajikan.
C.
Aliran
Yin Yang: Yin Yang Chia
Yaitu
suatu aliran yang dipelopori oleh orang-orang yang pada mulanya mempunyai
kedudukan penting dalam istana. Mereka itu ahli nujum dan ilmu perbintangan,
kemudian mereka menawarkan keahliannya kepada masyarakat. Aliran ini
pengaruhnya sangat besar di kemudian hari, bahkan secara tidak langsung dapat
dirasakan dewasa ini.
Menurut
pandangan orang cina Yin dan Yang merupakan dua prinsip pokok di alam
semesta.Yin adalah prinsip jantan
seperti; bumi, bulan, air, hitam, kepasifan dan lain sebagainya. Sedangkan Yang adalah jika digabungkan akan
memberikan pengaruh yang timbal balik dan akan terjadilah semua
peristiwa-peristiwa yang terdapat di alam semesta.
Yin
dan Yang merupakan dua prinsip yang
berlainan bukan berlawanan secara kontradiktur, namun keduanya merupakan dua
hal yang saling mengisi dan melengkapi.
D.
Mohisme
atau Mo Chia
Yaitu
suatu aliran yang terdiri dari kelompok kaum ksatria yang telah kehilangan kedudukannya.
Mereka menawarkan keahliannya di bidang peperangan kepada penguasa baru. Tokoh
dari Mo Chia adalah Mo Tzu (479-381 SM).
Mohisme
mempunyai disiplin yang ketat, hal itu karena adanya pengaruh dari tokohnya Mo
Tzu yang menuntut kepada murid-muridnya agar taat kepada gurunya. Sikap Mo Tzu
ini sedikit banyak dipengaruhi oleh keluarganya yang berlatar belakang militer.
Aliran mohisme ini di kemudian hari dikenal sebagai aliran yang utilitaristis.
E.
Dialektisime
atau Ming Chia
Aliran
Dialektisi dikenal juga dengan sebutan aliran nama-nama (Scholl of Names). Aliran ini dipelopori oleh orang-orang yang ahli
dalam bidang debat dan pidato. Mereka menyalurkan kepandaiannya kepada rakyat.
Mazhab ini tertarik dengan adanya
perbedaan antara apa yang mereka sebut dengan ‘nama-nama’ (names) dengan ‘fakta yang nyata’ (actualities).
F.
Legalisme:
Fa Chin
Yaitu suatu aliran yang dipelopori oleh
orang-orang yang ahli didalam bidang pemerintahan, mereka menawarkan
kepandaiannya kepada para penguasa di berbagai daerah. Mereka menjadi
penasihat-penasihat pemerintah dan mengajarkan teknik-teknik pemerintahan serta
hukum-hukum.[5]
Selanjutnya
pada periode Chi (221-207 SM), munncul reaksi yang kuat terhadap kebebasan
berpikir yang timbul pada tahun-tahun sebelumnya. Adalah kaisar Shih Huang Ti
yang sangat berperan dalam reaksi ini, dia mengontrol dan mengawasi pikiran
rakyatnya dengan keras, membakar seluruh tulisan pemikiran yang ada kecuali
tulisan yang menyangkut obat-obatan, ketuhanan dan pertanian. Akibatnya sejumlah
besar buku-buku yang nenuat ajarab Konfusius dibakar dan tidak kurang dari 460
sarjana dibunuh. Namun akhirnya reaksi tersebut berakhir setelah periode
selanjutnya yaitu pada masa dinasti Han (206 SM-220M), kebasan berpikir muncul
kembali dan Universitas Cina pertama didirikan dengan maksud meneruskan
cara-cara suci para penguasa kuno dan mencapai kemajuan moral dan intelektual
kekaisaran. Ajaran asli Konfusianisme dihidupkan kembali bukan hanya sebagai
pemikiran filsafat, tetapi sebagai agam yang penuh dengan aspek-aspek
sepiritual, moral dan kultural. Tokoh utama dalam gerakan ini adalah Tung
Chuang Shu yang berpendapat bahwa keunggulan manusia dibandingkan
makhluq-makhluq lainnya adalah terletak dalam kapasitasnya untuk menerima wahyu
dari Tuhan dan membentuk tindakan-tindakan dan sifat-sifatnya sesuai dengan
wahyu tersebut.
Di
masa permulaan dinasti Han ini Konfusianisme dipastikan mencapai kejayaannya,
namun kamudian terdapat pertentangan yang tajam di kalangan para pemikir ajaran
Konfusius tentang penafsiran dari buku-buku klasik dan status Konfusius
sendiri. Di satu pihak muncul golongan yang meningkatkan Konfusius sampai pada
setatus Tuhan Penyelamat, sementara dilain pihak ada golongan yang tetap
memperthankan paham lama bahwa Konfusius hanyalah seorang nabi atau guru.
Selama periode ini golongan yang meningkatkan Konfusius sampai kepada Tuhan
Penyelamat berpengaruh besar, sehingga
pada permulaan tahun 59 M ditetapkan cara-cara untuk memuja Konfusius, termasuk
memberikan korban kepadanya di semua lembaga pendidikan yang dikelola oleh
pemerintah, dengan demikian Konfusius meningkat menjadi semacam ‘Dewa
Pendidikan’ pada saat itu.
Keruntuhan
dinasti Han diikuti denagan suatu periode kekacauan moral yang berkepanjangan
di Cina, Ajaran Konfusius sendiri kehilangan tempat dikalangan intelek yang beralih
kepada ajaran Tao dan Budhisme, tetapi proses pendewaan Konfusius masih
berlanjut. Hingga pada abad pertengahan muncullah aliran Li Hsuch Chia atau Neo Konfusianisme, sekalipun para pengikut
aliran ini adalah intelek dan murid-murid sepiritual Konfusius tetapi
pengikutnya tidak berusaha memperthankan atau membangkitkan kembali ajaran yang
murni dari Konfusius tetapi hanya melakuan revisi terhada sistem etika, moral
dan kepercayaan lama berdasarkan perkembangan-perkembangan baru, hal itu
terjadi karena pola pikir mereka pada umumnya ditentukan oleh spekulasi para
pengajar aliran Chan dan Zen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar